Jangan main-main dgn Kosumen Jepang

3 10 2007

PekoKonsumen Jepang terkenal sebagai konsumen yang paling galak di dunia. Maksudnya, konsumen Jepang mempunyai standar yang sangat tinggi untuk produk-produk yang dibelinya. Apabila produk terntentu tidak bisa memenuhi standar yang tinggi itu, jangan harap konsumen Jepang mau membelinya. Mereka tidak akan segan-segan melayangkan komplain kepada penjual atau produsen apabila ditemukan cacat pada produk yang mereka beli. Terlebih apabila produsen atau penjual dengan sengaja berbuat kecurangan untuk menaikan keuntungannya, dengan sekejap kepercayaan konsumen Jepang bisa hilang. Dan apabila kepercayaan konsumen Jepang sudah hilang, produsen atau penjual tinggal menunggu waktu menuju kebangkrutan.

Lalu bagaimana dengan konsumen Indonesia. Saya kira secara umum konsumen Indonesia jauh lebih pemaaf daripada konsumen Jepang. Memang ada beberapa yang kritis tapi jumlahnya masih terbatas dan kurang mempunyai pengaruh terhadap produsen. Saya tidak tahu apakah ini pengaruh nilai yang dianut orang Indonesia bahwa memberi maaf adalah perbuatan yang mulia.

Ada banyak kasus di Jepang yang menggambarkan perusahaan sebesar apapun bisa hancur dengan sekejap apabila menghianati konsumennya. Kalau terjadi kasus seperti ini, di TV kita bisa melihat pimpinan perusahaan menangis dan membungkuk-bungkuk untuk meminta maaf kepada konsumen. Sekitar 6 tahun lalu, Yukijirushi (Snow Brand), produsen susu terbesar waktu itu, membuat kesalahan fatal yang menyebabkan sebagian kosumen keracunan setelah meminum susu produk mereka. Penyebab keracunan ini adalah matinya listrik di salah satu pabrik mereka yang menyebabkan bertambahnya bakteri pada bahan produk susu. Dalam waktu yang tidak lama, yukijirushi jatuh karena ditinggal kosumennya dan sekarang dipecah menjadi beberapa perusahaan kecil. Contoh lain yang lebih baru adalah kasus Fujiya, produsen makanan ringan dan kue yang sudah dipercaya selama lebih dari 90 tahun. Persaingan yang semakin ketat membuat mereka “hilaf” dengan menggunakan bahan-bahan yang sudah kadaluarsa pada produk-produknya. Seperti kasus-kasus sebelumnya, dalam sekejap kosumen hilang kepercayaannya dan produk-produk Fujiya hilang dari pasaran.

Berbeda dengan konsumen Jepang, konsumen Indonesia mungkin tidak akan “sekejam” itu. Waktu saya masih tinggal di Sendai, ada sebuah toko yang menjual produk-produk halal yang dimiliki oleh orang Bangladesh. Sadar atau tidak, si penjual sering menjual produk yang masa kadaluarsanya sudah lewat. Bahkan kadang-kadang ada yang sengaja diganti label expire date-nya. Memang ada orang Indonesia yang mengajukan komplain, tapi biasanya mereka tetap membeli produk-produk di toko yang sama. Contoh lain adalah kasus hilangnya kapal Adam Air beberapa waktu lalu. Mungkin setelah kejadian, banyak konsumen yang membatalkan untuk menggunakan Adam Air. Tapi seiring dengan waktu, ingatan konsumen akan kasus itu semakin menipis dan akihirnya lupa sama sekali. Mungkin saat mudik lebaran ini, Adam Air akan penuh seperti perusahaan-perusahaan penerbangan lainnya.   

Bagi konsumen Jepang, bukan hanya produk saja, tingkah laku karyawan perusahaan juga bisa mempengaruhi nasib perusahaan itu. Di Jepang ada pandangan bahwa tingkah laku seorang karyawan mencerminkan perusahaan tempat dia bekerja, apabila karyawan bertingkah laku jelek maka image perusahaan bisa menurun. Sekitar tiga tahun lalu ada perusahaan IT, Livedoor, yang tumbuh begitu cepat. Dalam waktu sekitar 3 tahun, mereka bisa menaikan nilai perusahaannya ratusan kali lipat. Dirut livedoor, Horie Takafumi, menjadi orang yang terkenal dan sering tampil di acara-acara TV. Suatu saat terungkap bahwa pimpinan livedoor memalsukan laporan keuangan untuk menaikan harga saham mereka. Akibatnya jelas, bukan saja mendapat sangsi pidana dan perdata, konsumen lari meninggalkan mereka.

Gomennasai

Bandingkan dengan konsumen Indonesia yang pemaaf. Beberapa waktu lalu beredar video di Youtube tentang bagaimana perusahaan-perusahaan multinasional terkenal menggaji buruh-buruhnya di Indonesia dengan sangat rendah. Tapi berita seperti ini tidak membuat konsumen Indonesia berhenti membeli produk perusahaan-perusahaan itu. Atau kasus pembunuhan mantan ketua Kontras, Munir, yang masih segar dalam ingatan kita. Kasus ini melibatkan mantan Dirut, pilot, dan beberapa karyawan PT Garuda Indonesia yang menjadi tersangka pembunuhan. Pada tahap awal kejadian, ada kesan Garuda menghalangi proses pemeriksaan polisi. Sampai sekarang saya belum menemukan berita Garuda memberikan permintaan maaf secara resmi kepada konsumen atas keterlibatan mantan karyawannya. Apakah kasus ini mempengaruhi konsumen Garuda. Saya kira tidak banyak perubahan pada persepsi dan perilaku kosumen terhadap PT Garuda Indonesia walaupun kasus ini bisa digolongkan sebagai kasus kelas berat. Konsumen masih setia menggunakan Garuda. Walaupun hanya segelintir orang saja yang terlibat, minimnya reaksi dari konsumen Indonesia sangatlah “luar biasa” apabila dilihat dari kacamata orang Jepang.

Lalu timbul pertanyaan, apakah konsumen Indonesia harus kritis seperti kosumen Jepang. Saya kira dalam konteks tertentu konsumen Indonesia perlu meniru kosumen Jepang. Tujuannya adalah memberi tekanan untuk mengontrol produsen atau penjual supaya tidak melakukan kecurangan atau hal-hal yang melanggar hukum. Misalnya dengan tidak menyimpan uang di bank yang direksinya melakukan kolusi dengan pejabat politik akan membantu menyehatkan dunia perbankan dan mengurangi KKN. Pertanyaan berikutnya adalah, bisakah konsumen Indonesia seperti konsumen Jepang. Saya kira bisa saja walaupun tidak mudah. Pertama konsumen Indonesia harus mempunyai kesadaran yang tinggi atas pentingnya kesehatan, sehingga apabila ada produsen makanan yang bermasalah konsumen bisa bereaksi dengan cepat. Yang kedua, konsumen Indonesia perlu mempunyai moral yang tinggi secara konsisten untuk mendapatkan bargaining power terhadap produsen. Apabila konsumen Indonesia masih suka membeli VCD bajakan, software bajakan dan produk ilegal lainnya, ya sami mawon, konsumen sama rusaknya dengan produsen. Selain itu, peranan media massa juga sangat penting. Media massa harus bisa memberikan berita yang akurat secara cepat bila ada kecurangan dari produsen supaya konsumen mempunyai pemahahan yang tepat. Tapi perlu diperhatikan, jangan sampai ada wartawan yang mau disuap perusahaan supaya tidak memberitakan kasus tersebut.

Artikel terkait: Mahalnya sebuah kepercayaan, Konsumen adalah Raja 


Aksi

Information

12 responses

4 10 2007
pr4s

I LOVE INDONESIA…………. :mrgreen:

4 10 2007
donydw

😀

7 10 2007
dalamhati

mungkin konsumen indonesia masih berpikir, kalo cuma sesorang saja yang mogok membeli produk tsb kayaknya gak ada pengaruhnya bagi perusahaan itu. tapi konsumen indo punya trend sendiri buat ngasih pelajaran perusahaan-perusahaan nakal tsb. liat saja di surat kabar-surat kabar, dikolom surat pembaca isinya komplain melulu. biasanya akan ditanggapi dengan permintaan maaf dan pendekatan langsung kpd konsumen yang komplain di edisi berikutnya.

7 10 2007
donydw

Makasih komentarnya. Mungkin benar konsumen Indonesia sudah lebih kritis dibanding dulu. Tapi sepertinya pengaruhnya terhadap produsen atau penjual masih terbatas. Seperti Anda bilang, apabila ada konsumen yang komplain, produsen cenderung melakukan pendekatan kepada konsumen yang komplain tsb, daripada berusaha mencari akar permasalahannya.

9 10 2007
priandoyo

Jangan-jangan pemaaf itu karena tidak ada alternatif lain, kurang galak karena kurang ‘power’ untuk menyetir si produsen. Hmmm ulasannya menarik tuh Mas Donny

9 10 2007
donydw

Mas Anjar, trims udah mampir. Mungkin benar, untuk barang tertentu, pilihan terbatas sehingga bisa mempengaruhi daya tawar(baca power) konsumen.

9 10 2007
ardy

kang Dony,
diperlukan penegakan hukum (law inforcement) yg tegas juga kepada produsen yg nakal. hukuman seberat2nya sehingga produsen benar2 kapok untuk tidak mengulangi kasus yg sama.

Komentar:

Setuju kang Ardy, kalau kontrol dari hukum bisa saling melengkapi dengan kontrol sosial dari konsumen, saya kira bisa membuat kapok produsen atau penjual yang nakal.

9 10 2007
reza

Tren pengusaha Indonesia saat ini (mengutip kata Pak Frengky W. dari Bogasari) 90% adalah pengusaha Jasa dan Pedagang, masih sedikit pengusaha Indonesia membuat produk atau barang. Juga mengutip ulasan Pak Henky, Dirut PT. Rekayasa Industri, yang mengatakan bahwa kemajuan negara adalah karena peran dan kemajuan perusahaan-perusahaan di negara tersebut (bukan pemerintahannya). Sedangkan kemajuan perusahaan disebabkan karena inovasi teknologi para insinyur-insinyurnya dalam meng-“create value” di dalam perusahaan tersebut. Artinya semakin inovatif dan berkarya para insinyur didalam suatu korporasi, maka akan majulah bangsa dan negara tersebut. Jadi disini, kata kuncinya adalah “insinyur” dan “korporasi” dalam memajukan bangsa.

Bagaimana Indonesia cepat maju jika produk dan barang yang beredar di pasaran adalah produk dan barang impor dari negara lain terutama dari China dan Jepang. Bagaimana Perusahaan Lokal di Indonesia bisa cepat maju dan bisa bersaing dengan Perusahaan Multi Nasional jika pengusaha lokal nya hanya jadi pembeli lisensi atau penjual produk atau barang yang diimpor dari negara lain, bukan pengusaha yang mempunyai inovasi dan keberanian untuk mengambil resiko dengan inovasi memproduksi di dalam negeri secara mandiri, terutama untuk permesinan.

Kalau kita buat list dari kebutuhan rumah tangga sampai kebutuhan di Industri kita bisa lihat sendiri paling banyak (menurut saya 80 ~ 90%) adalah barang impor dan barang brand dari negara lain….misal : Pompa Air, Refrigerator, AC, Blender, Lampu, sepeda motor, mobil, kompresor, dll.

Indonesia punya banyak SDM potensial, dari level Sarjana sampai Professor, tapi terkesan kurang inovatif dan kurang kreatifitas alias mandul, Indonesia punya banyak pengusaha, tapi kurang berani investasi untuk mengangkat dan memproduksi produk olahan industri lokal, memang banyak temuan baru dibidang rekayasa dan scinece hasil riset anak bangsa Indonesia, tapi yang punya paten adalah negara lain. Kita punya banyak professor dan tenaga ahli untuk riset, tapi terbentur kembali pada masalah dana, akhirnya mereka riset dengan dibiayai negara lain yang hasil risetnya harus dipatenkan negara sponsor, padahal yang mereka risetkan materialnya juga banyak hasil rekayasa dan riset yang bermutu tinggi di Universitas, tapi belum banyak yang disinergikan pengusaha lokal untuk dijadikan produk olahan industri. Kita punya banyak lahan yang subur, tapi dibiarkan tidak ditanami, yang ada hutan ditebangi baik legal maupun ilegal untuk industri kertas dan perkebunan sawit.

Menurut saya alangkah baiknya jika :
1. Semua Pengusaha lokal mulai membudayakan bersinergi dengan Universitas untuk membiayai riset para tenaga ahli di Universitas di Indonesia melalui kerjasama yang saling menguntungkan, lalu hasil risetnya dipatenkan sebagai karya anak bangsa Indonesia, dan sama pengusaha lokal diproduksi masal sebagai produk olahan industri Indonesia.
2. Dibuat suatu mall one stop shopping seperti Lindeteves Trade Centre di tiap Provinsi (sebagai tempat promosi, distribusi dan pembangun brand image produk lokal, seperti mesin, perkakas n fastener, home aplliance, electrical dan mechanical, textil, dll), tapi syarat utamanya barang yang dijual di mall tersebut HARUS 100% buatan Industri lokal dari pengusaha lokal, bukan pengusaha PMA atau Join Venture. Bisa jadi tiap lantai spesifik sesuai jenis produk.
3. Kita bangga di Indonesia ada kawan lama dan ACE hardware, sayang barang yang dijual di Kawan Lama masih 80~90% diimport dari berbagai negara, sangat bermanfaat sekali jika ada pengusaha atau badan usaha Nasional mulai merintis untuk mengumpulkan semua jenis produk produksi industri-industri lokal, lalu dibuat direktori atau katalog besar seperti katalog keluaran Industri Jepang MISUMI, ESCO, TRUSCO, dll. Katalog dari Jepang sangat menarik, komunikatif, mudah dipahami dan mudah cara berbelanjanya. Mungkin namanya The Indoneisa Local Product General Catalog of Professional Tools for Factory, Office, and Home Use
4. Sarjana-sarjana lulusan Universitas, terutama dari bidang Teknik dibina dan difasilitasi oleh pemerintah untuk membuat usaha kecil/industri rumah tangga yang disponsori pengusaha lokal, untuk melakukan inovasi dan membudayakan kreatifitas melalui ATMM (amati, Tiru, Modifikasi dan Minimalisasi), dengan membuat komponen-komponen/suku cadang untuk produk-produk dari pengusaha yang mensponsori. Seperti Toyota dengan suplier-supliernya, kemana Toyota investasi, vendor-vendornya juga akan ikut mengekor. Keiritsu ala Indonesia.

So majulah pengusaha Indonesia, majulah insinyur Indonesia, berinovasi dan kreatiflah untuk membuat produk yang bisa berkompetisi dengan produk asing.

salam
reza

Komentar:

Mas Reza, makasih banget udah ngasih komentar yang panjang lebar. Saya yakin uraiannya jadi masukan berguna buat saya. Sedikit informasi saja, produk China di Jepang (mungkin juga di negara lain) mempunyai image yang kurang baik. Banyak produk China yang tidak bisa memenuhi standar keamanan atau kesehatan konsumen Jepang. Media Jepang “senang” mengangkat isu ttg bahayanya produk-produk China.

9 10 2007
Rika

Pak Dony…..

Saya pernah liat konsumen Jepang marah2 di kombini karena gak puas sama es krim yg mereka beli. Wah…syereeemmm Pak. Apalagi mereka udah buang struk belanjanya (biasa kan, kalo kita belanja di kombini, struk nya lgs kita buang). Jadi proses penggantian es krimnya jadi rada alot. Soalnya si penjual juga lupa ama pembelinya. Hehehe….
Btw, istilah “Barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan” masih berlaku gak ya, di Indonesia?

-Rika-

Komentar:

Saya sendiri pernah mendengar ada orang Jepang yang mengembalikan gelas yang dipesannya hanya karena ada tanda sidik jari di gelasnya. Trims ya udah sharing.

3 12 2007
bee

mungkin pelajaran pendidikan moral seperti PMP waktu dulu harus dirubah formatnya dari sekedar teori menjadi implementasi. Karena percuma juga klo bikin kampanye untuk nyadarin masyarakat yang uda terlalu poluted kyk sekarang. Pembelajaran kritis dari sejak dini lebih diutamakan biar anak cucu kita bisa makmur, adil, dan sentosa…biar ga ada “perut buncit” lagi di Indonesia, sehingga kualitas manajemen, pelayanan dan produk menjadi maksimal. Lalu, Konsumen terpuaskan deh!!!

Dony:

Setuju. Pendidikan moral tidak bisa effektif kalau hanya teori saja. Butuh latihan nyata yang kontinyu.

6 11 2008
kunyit

dulu waktu saya bekerja di mister donut jakarta(skrg masih ada gak yah?),pernah saya melayani pembeli seorang wanita jepang.pelayanan saya mungkin tidak bagus,dengan bahasa yg terpatah patah dia menyampaikan keinginannya dan saya turuti.keesokan harinya suami si wanita datang ke toko dan marah ke teman saya,padahal saya ada disitu.tanpa ada perasaan bersalah ataupun penyesalan saya katakan tidak tahu,ketika teman saya menanyakan siapa pelaku hingga membuat suami si pembeli itu marah.sekarang saya tinggal dijepang hampir sepuluh tahun dan menjadi mengerti mengapa suami wanita jepang itu sangat marah akan pelayanan saya.pelayanan mereka sangat bagus,tapi yang lebih terasa buat saya adalah kenyamanan hati saat berbelanja.

26 10 2009
Tati

sy sedang butuh kasus ttg perilaku konsumen buat tgs pemasaran. sy kutip y bbrp informasix di atas??!
trimakasih! =)

Tinggalkan komentar