Ribut-ribut Malaysia

10 10 2007

Akhir-akhir ini berbagai media ramai dengan isu pemakaian lagu Rasa Sayange oleh pemerintah Malaysia untuk promosi pariwisatanya. Isu ini membuat marah banyak orang Indonesia yang menganggap Malaysia telah mencuri salah satu lagu daerahnya. Mereka mengungkapkan kekecewaannya dengan caranya masing-masing. Bahkan orang yang sehari-harinya tidak peduli dengan kesenian daerah pun ikut meramaikan suasana ( he he ini tipikal orang kita, meski enggak pernah shalat tapi pasti ikutan demo kalau denger quran dibakar). Lalu apa hubungan isu ini dengan saya, atau khususnya blog ini. Apa mau ikutan latah menghujat Malaysia. Tentu saja tidak. Saya hanya mau mengajak pembaca melihat isu ini dari perspektif lain dengan kepala dingin. Kalau mungkin, dihubungkan dengan isu marketing (mudah-mudahan enggak dipaksain :)).

Pertama saya ingin ajak pembaca melihat kasus “pencurian” produk-produk Jepang oleh Korea, China, dan Taiwan. Kalau dibandingkan dengan kasus Jepang, kasus Malaysia memakai lagu Rasa Sayange belumlah apa-apa. Terutama di Korea, bukan saja produk seperti makanan atau pakaian, iklan dan acara TV pun banyak menjiplak dari Jepang. Jumlahnya bukan satu dua, tapi puluhan atau mungkin ratusan. Berbeda dengan lagu Rasa Sayange yang tidak jelas penciptanya, produk-produk Jepang yang dijiplak adalah produk komersial yang jelas ada hak ciptanya. Silahkan lihat dua link di bawah ini yang memuat beberapa contoh produk Jepang yang dicuri oleh produsen Korea dan China (mungkin bisa bikin Anda tersenyum).

  1. Produk Jepang yang dijiplak produsen Korea
  2. Produk Jepang yang dijiplak produsen China

Kinokoyama

Lalu apakah hal ini membuat orang Jepang marah terhadap produsen dari China, Taiwan, dan Korea yang menjiplak produk mereka. Kalau dipikir menurut standar kita, seharusnya mereka marah melebihi marahnya orang Indonesia kepada pemerintah Malaysia. Memang ada orang Jepang yang merasa gerah dengan penjiplakan ini. Ada beberapa perusahaan yang mengirimkan surat protes kepada produsen yang menjiplaknya (walau enggak pernah digubris). Tapi secara umum orang Jepang lebih dewasa dalam melihat masalah ini. Mereka tidak sampai memaki-maki ketiga negara itu, tidak ada demo, dan tidak ada usaha untuk menyebar kebencian yang hanya menguras energi secara percuma. Kenapa, karena orang Jepang tahu walaupun produk mereka dicuri, kreativitas, inovasi, imajinasi, sistem organisasi, etos kerja dan disiplin yang mereka punya tidak akan pernah bisa dicuri oleh siapapun. Dan karakter orang Jepang seperti itulah yang membuat mereka terus membuat produk-produk yang luar biasa.

Kembali ke masalah pemakaian lagu Rasa Sayange, saya kira orang Indonesia tidak perlu marah secara berlebihan karena itu hanya membuang-buang energi. Apalagi sampai mencaci maki tetangga kita itu. Walaupun Malaysia bisa mencuri lagu itu, tapi  mereka tidak akan bisa mencuri kreativitas, keragaman, dan kebanggaan atas identitas yang kita punya. Karakter unik yang kita punya hanya bisa dimiliki oleh kita, orang Indonesia, sebagaimana orang Jepang mempunyai karakternya sendiri walapun orang lain berusaha mencuri produk dari karakter itu.

Bagi saya pribadi, kasus pemakaian lagu Rasa Sayange ini memberi banyak pelajaran. Pertama, saya jadi semakin sadar bahwa negara kita itu kaya dengan kesenian daerah. Hanya sayang selama ini kita kurang bisa menggali dan memanfaatkan potensi itu. Mudah-mudahan dengan adanya kasus ini kita (terutama pemerintah) bisa mempunyai komitmen yang tinggi untuk menjaga dan memanfaatkan potensi kesenian daerah. Kedua, banyak stereotype-stereotype keliru antara kita dengan orang Malaysia. Kita menganggap orang Malaysia sombong, menganggap rendah orang kita, suka menyiksa pembantu dll. Sedang mereka sendiri menganggap kita kriminal, pembuat onar, pekerja rendahan dll. Padahal semua itu tidak selalu benar. Banyak orang Malaysia yang pernah datang ke Indonesia terkagum-kagum dengan karakter bangsa kita yang ramah, kreatif, terbuka, dinamis, bangga sebagai bangsa Indonesia, dan kaya dengan budaya daerah. Dan kalau kita coba berinteraksi dengan orang Malaysia, kita akan tahu bahwa anggapan jelek terhadap mereka tidaklah sepenuhnya benar. Beberapa hari lalu di harian Pikiran Rakyat saya membaca banyak majikan orang Malaysia yang ikut mengantar TKW yang bekerja untuk mereka sampai ke Bandara di Indonesia karena khawatir akan keselamatan pekerjanya.

Kesimpulannya, dipakai atau tidaknya lagu Rasa Sayange oleh pemerintah Malaysia, kita adalah kita. Bangsa Indonesia yang kreatif, dinamis, dan kaya akan kebudayaan daerah. Tinggal sekarang bagaimana menggali dan memanfaatkan potensi itu. Khususnya untuk orang-orang yang begerak dibidang marketing, mereka punya andil besar dalam memasukan unsur-unsur budaya Indonesia dalam pengembangan dan promosi produk-produknya.





Dibalik Slogan “Dijamin Paling Murah”

10 10 2007

kojimaBanyak penjual (retailer&wholesaler) yang berusaha membuat image toko mereka sebagai toko yang menjual barang dengan murah. Tujuannya lain tidak lain untuk menarik konsumen membelanjakan uangnya di toko mereka. Salah satu caranya ialah dengan cara membuat slogan “jaminan harga termurah”. Penjual menjamin bahwa harga produk yang mereka jual adalah yang paling murah dibanding yang dijual di toko lain. Dan apabila konsumen yang membeli produk mereka menemukan produk yang sama dijual lebih murah di toko lain, penjual akan mengembalikan selisih harga tersebut kepada konsumen. Di Jepang banyak sekali penjual yang memakai slogan seperti ini. Dari mulai toko furniture, toko elektronik, sampai hotel. Yang paling menonjol adalah toko elektronik, seperti Yamada Denki dan Kojima Denki, bahkan Kojima Denki memakai slogan “Toko Paling Murah di Dunia”.

Dengan dibuatnya slogan seperti ini, banyak konsumen terpengaruh persepsinya. Sebuah riset yang dilakukan oleh dua peneliti dari Maryland University menunjukan bahwa banyak kosumen yang percaya dan menggangap toko yang memakai slogan itu lebih murah daripada toko lainnya. Tapi benarkah toko yang memakai slogan toko termurah menjual semua produknya lebih murah daripada toko lainnya?. Tampaknya tidak demikian. Dari beberapa penelitian, tidak semua toko yang memakai slogan toko termurah menjual semua barangnya lebih murah daripada toko lain. Bahkan ada kasus yang sebaliknya.

Peneliti dari California dan North Carolina University menyimpulkan bahwa pemakaian slogan ini memberi pengaruh yang sebaliknya. Pertama pemakaian slogan toko termurah ini menyebabkan dispersi harga di toko-toko semakin kecil. Artinya toko-toko cenderung menjual produknya dengan harga yang hampir sama. Kedua, pemakaian slogan ini menyebabkan harga berada pada level yang tinggi. Pemakaian slogan ini sebenarnya bukan merupakan pesan kepada konsumen bahwa toko mereka adalah toko termurah, melainkan pesan(baca ancaman) kepada toko-toko kompetitornya. “Kalau Anda berani menurunkan harga, kami siap menurunkan harga di bawah harga Anda”. Akibatnya toko-toko akan berpikir beribu kali apabila ingin menurunkan harga karena takut terjerumus ke “perang harga”. Dan akibat selanjutnya adalah harga berhenti pada level yang tinggi. Beberapa peneliti menganggap akibat yang kedua ini bisa melanggar hukum monopoli karena bentuknya mirip kartel yang menghambat persaingan sehat.

Akhir-akhir ini banyak yang mempertanyakan effektivitas dari slogan ini. Alasannya adalah bermunculannya  situs yang memberikan informasi harga. Dalam situs itu sering toko yang tidak memakai slogan toko termurah malah menjual produknya lebih murah daripada toko-toko lain. Akibatnya konsumen jadi kurang percaya dengan slogan-slogan toko termurah. Alasan kedua adalah bahwa konsumen tidak hanya menggunakan harga sebagai parameter dalam menilai murah atau mahalnya sebuah toko, tetapi parameter lain seperti cara pembayaran, after service, pelayanan, sistem pengiriman dll juga merupakan faktor penting dalam membuat image sebuah toko.